Everyone I Have Ever Slept With 1963-1995 adalah karya seni kontemporer Tracey Emin. Tahun 1995 karya seni itu dipamerkan. Karya seni itu berupa tenda yang sudah dimodifikasi. Ketika masuk ke dalamnya, kita akan menemui gambaran Tracey Emin bermain memori mengingat dengan siapa saja ia pernah tidur. Tidak semua orang mampu berbicara mengenai pengalamannya di tempat tidur. Tentu tenda itu bukan hanya rekaman seksual, tetapi juga ingatan masa kecil, mengenai orang tua, kakek-nenek, teman, lengkap dengan namanya yang pernah tidur dengan Tracey Emin. Mengapa sebuah “tenda memori” atau “The Tent” karya Tracey Emin menjadi karya seni kontemporer di zamannya?
“Saat itu gerakan Young British Artist (YBAs), membuat karya kontroversi media agar laku di pasar,” kata Barto. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah “The Tent” karya Tracey Emin. Itulah mengapa karya seni kontemporer dekat dengan kehidupan sehari-hari yang merespon wacana yang berkembang pada saat itu. Begitu juga dengan karya “Mother and Child” karya Damien Hirst, berupa sapi yang diresin dimasukan dalam kotak kaca. Karya-karya itu mengundang kontroversi memicu perdebatan di media massa dan masyarakat.
Kisah itu diceritakan Leonhard Bartolomeus kepada peserta remedial dalam pertemuan kelima mengenai seni kontemporer (15/3). Materi ini penting sebagai asupan awal pengetahuan bagi peserta remedial mengenal seni kontemporer. Bagi Barto seni kontemporer selalu berbicara mengenai masa/waktu, pembabakan di mana karya itu muncul dan menjadi kontekstual dengan wacana global. “Seni kontemporer yang paling mendasar adalah merujuk pada waktu,” kata Barto.
Itulah mengapa seniman kontemporer sensitif terhadap waktu dan wacana global. Terkadang seniman kontemporer juga terlibat dalam aktivisme dan riset sosial untuk menunjang karya seni yang dibuatnya.
Barto menjelaskan beberapa elemen dasar mengapa sebuah karya disebut sebagai seni kontemporer. Pertama, apropriasi yakni menggunakan karya seni seniman lain dan dimodifikasi sebagai karya baru. Biasanya karya yang dimodifikasi adalah karya yang terkenal dan umumnya orang-orang mengetahui karya itu. Kedua, hybriditas atau mix media, karya seni kontemporer tidak bisa berdiri sendiri sebagai karya. Seni kontemporer lebih luwes untuk saling-silang pengetahuan dan antar media menjadi sebuah karya. Barto mencontohkan karya Tisna Sanjaya yang melukis dengan media rempah-rempah.
Ketiga, space yakni seni kontemporer memaknai ruang sebagai tanda baca wacana seni yang kontekstual. Biasanya seni kontemporer dapat menjadi kritik ruang publik. Wacana seni itu bisa dilihat dalam perhelatan Jakarta Bienale. Contohnya karya performance yang dekat dengan karya seni kontemporer menjadi jalan membaca wacana global saat itu. Keempat teknologi, seni kontemporer dalam pembuatannya lekat dengan teknologi sebagai pendekatan sekaligus medium pengantar pesan/tanda.
“Banyak karya seni kontemporer menggunakan teknologi kekinian yang lekat dengan masyarakat hari ini,” kata Barto.