Kongres Kodok adalah puisi gubahan Saut Sitompul yang diorkestrakan di pinggir jalan. Saut Sitompul mengajak orang-orang: tukang becak, pejalan kaki, pedagang asongan, penjaja makanan, ibu-ibu dan lainnya untuk saling berbagi bunyi, tawa, senyum dalam deklamasi puisi yang dibawakan Saut Situmpol. Bunyi-bunyian itu ibarat irama latar musik bagi puisi kongres kodok. Saut Sitompul adalah penyair jalanan, ia dapat berkeliling dari bis ke bis untuk membacakan puisi.
Berto Tukan mengenalkan Saut Sitompul sebagai penyair yang penting diketahui oleh peserta remedial dalam pertemuan ke enam di Gudskul (2/23) dengan menayangkan video klip Kongres Kodok di Youtube. Mengapa Saut Sitompul menjadi salah satu penyair yang penting diketahui ?
“Saut Sitompul mensyaratkan banyak orang dan adanya partisipasi dalam deklamasi puisinya,” kata Berto. Kongres Kodok menjadi puisi yang khas dari Saut Situmpol. Puisi-puisi Saut Sitompul bernuansa musikal ketika dideklamasikan. Saut Situmpol adalah salah satu penyair yang tak ada di buku paket dan pelajaran sastra Indonesia. Bagi peserta remedial Saut Sitompul salah satu penyair yang baru mereka kenal.
Berto juga memperkenalkan penyair lain: Afrizal Malna, Wijhi Tukhul, Rendra, Chairil Anwar. Mereka adalah penyair yang hidup di zamannya. Rendra melalui puisinya banyak memberikan kritik terhadap pembangunan zaman orde baru. Misalnya, Rendra pernah menulis puisi Sajak Sebatang Lisong, melalui matanya Rendra melihat kesenjangan, anak-anak terlantar tanpa pendidikan, serta kritiknya kepada penyair salon. Pun Wijhi Thukul yang pernah menulis puisi yang memberikan metafor rakyat yang seperti ‘bunga’ dan negara yang laiknya ‘temboknya”. Dalam puisi “Bunga dan Tembok”, rakyat seperti halnya bunga yang mekar dan hidup di atas tembok yang kapan saja harus dibersihkan atau digusur.
“Ini yang membedakan Wijhi Thukul dan Rendra, “kata Berto, “Adalah aku yang merasakan dan aku yang melihat,” jelas Berto. Puisi-puisi Rendra menjadi rekaman mata penyair dalam menuliskan keadaan sosial masyarakat. Sedangkan Wijhi Thukul adalah penyair yang merasakan penderitaan dan diresapi melalui puisi-puisinya.
Puisi tak hanya hidup di sebuah lembaran kertas lalu bertumpuk menjadi buku-buku. Puisi juga hidup menjadi musik, menjelma video performance, menjadi bagian teater, puisi juga menjadi bunga-bunga kata dalam film. Rendra dan puisinya dapat dinikmati di film Yang Muda Yang Bercinta (1977). Wijhi Thukul dan puisinya menjelma dalam film Istirahatlah Kata-Kata (2017). Tahun 2000-an kemunculan puisi dalam film Ada Apa Dengan Cinta (2002), sempat menjadikan titik balik puisi naik dipermukaan menjadi bagian dalam film. Berto juga memperkenalkan bapak penyair modern Indonesia: Chairil Anwar. Sami peserta remedial dapat menyebutkan beberapa puisi yang dikarang Chairil Anwar. Tentu Chairil Anwar menjadi penyair yang begitu banyak dikenal oleh kalangan pelajar.
Bagi Berto penyair kontemporer hari ini yang memiliki daya imajinasi dan juga kemampuan dalam membawakan puisi melalui medium-medium lain seperti video tak lain adalah Afrizal Malna. Afrizal sering bereksperimen dengan medium lain saat membacakan sebuah puisi. Terkadang Afrizal membawakan puisinya menjadi performance art dan juga poet video art seperti 3 suara kaca. Afrizal walaupun ia seorang penyair, ia juga sering pameran seni rupa melalui karya-karya puisinya yang alih wahana menjadi video dan performance.
“Afrizal masih menyebutnya sebagai puisi walaupun menggunakan seni media dan performance art,“ kata Berto