Januari identik dengan liburan dan tahun baru. Perayaan liburan yang ditandai ledakan-ledakan kembang api serta alunan terompet masih sempat terngiang di telinga, walaupun dengan volume yang kecil. Januari tidak hanya menampilkan kemeriahan tahun baru dan liburan sekolah, namun juga perayaan seni rupa dan literasi. SMA 1 Diponegoro Jakarta mengawali kegiatan sekolah dengan mengadakan pameran seni rupa. Tepat pada tanggal 29-31 Januari 2019, mereka menggelar acara Dipofest. Selama liburan karya seni garapan siswa dihasilkan. Dipamerkan di aula sekolah dengan tema “Searching”.
Sekolah memberikan apresiasi kepada karya siswa bukan sekadar momen tahunan tanpa arti. Tapi sebagai entitas dari proses belajar serta pendidikan di sekolah itu. Sudah terhitung lima kali acara ini terselenggara, berawal dari tahun 2015. Karya seni utama yang dipamerkan dan diletakan di tengah-tengah ruangan adalah “buku”. Sebuah karya seni yang disebut sebagai jendela dunia ini terbit dengan lima judul buku: Nikmat, Tak Sesuai Realita, Sangkar-sangkar Pilu, Rindu yang Salah Datang, Suara yang Tak Sempat, serta Ilusi. Karya-karya itu ditulis oleh siswa-siswa SMA 1 Diponegoro Jakarta. Tak hanya buku yang disuguhkan dalam pameran. Ada gambar-gambar dengan pelbagai macam tema, busana, video poem, fotografi, serta gelas-gelas souvenir dan sebagainya.
Momen ini mungkin bisa diikuti oleh sekolah-sekolah lain. Apresiasi karya seni yang tak harus menilai suatu karya harus memiliki ide atau gagasan cemerlang. Seperti layaknya sebuah buku karya dari penulis-penulis hebat macam Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, atau puisi karya Chairil Anwar, Rendra, serta juga karya lukisan dari seorang semacam Pablo Picasso dan Da Vinci. Mungkin poin utama dari apresiasi karya seni ini adalah sebagai penyemangat serta membudayakan hal-hal yang positif di sekolah. Sebuah manifestasi dari pendidikan formal. Jangan dulu berbicara kualitas yang hebat seperti para penulis dan pelukis tadi. Berbicara dulu mengenai apresiasi dari proses belajar.
Safina Ramadinta, penulis buku puisi Rindu yang Salah Datang, berkata bahwa buku puisi yang ia tulis terinspirasi dari akun-akun quotes di Line, Wattpad, dan teman atau kakak kelasnya. Ia tidak begitu tahu soal penulis-penulis puisi dari Indonesia ataupun luar negeri. Penulis-penulis seperti Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo pun ia kurang tahu. Juga dengan penulis kondang yang ramai diperbincangkan dikalangan remaja, seperti Fiersa Besari. Tidak hanya Safina Ramadinta saja yang kurang tahu terkait penulis-penulis puisi. Anisa Nasution yang menulis buku puisi berjudul Ilusi, serta Novia yang menulis buku puisi berjudul Suara yang Tak Sempat pun juga kurang mengenal mengenai para penulis puisi lokal. Tapi berbeda dengan Safina yang tidak tahu penulis kondang tersohor di kalangan remaja, mereka tahu mengenai penulis itu.
Pun ini langkah baik yang dilakukan dalam pendidikan formal, terkait apresiasi karya dari para muridnya. Apresiasi yang dipamerkan dalam acara tahunan dengan nama Dipofest. Acara ini tidak hanya menyuguhkan apresiasi karya seni para siswa yang dilakukan di aula sekolah. Tetapi juga ada juga bincang-bincang dengan Maudy Ayunda sebagai pengisi acaranya, serta beberapa stan-stan PTN dan PTS di dekat pintu gerbang. Sebelum memasuki aula pameran, kita harus melewati stan-stan PTN serta PTS terlebih dahulu, baru setelah itu kita bisa mengisi buku daftar hadir untuk bisa masuk aula pameran.
Setelah melewati pintu aula, ada dua jalur untuk dapat masuk. Sebelum itu kita sudah disuguhkan beberapa kutipan-kutipan puisi dari buku-buku yang diterbitkan. Kutipan-kutipan itu dibalut dengan latar belakang pelbagai gambar yang dianggap dapat merepresentasikan puisi tersebut. Kutipan-kutipan dipajang pada papan-papan panel. Setelah melewati kutipan-kutipan yang dipajang, mata akan disuguhkan dengan hal berbeda seperti gambar-gambar yang dipajang dengan pelbagai macam media. Ada yang digambar dengan pensil, ada juga dengan aplikasi-aplikasi digital.
Karya-karya yang disuguhkan tidak terpaku pada satu tema saja. Banyak tema yang ditampilkan pada pameran Dipofest. Ada graffiti, ada kaligrafi, ada gambar-gambar semacam manga, ada juga gambar yang bertemakan musisi-musisi legendaris kenamaan seperti Freddie Mercury, vokalis band Queen, atau gitaris band kenamaan Guns N Roses Slash yang belum lama manggung di Indonesia.
Tahiun 2019 ini kebaharuan hadir dengan adanya aplikasi Artifive dibeberapa karya. Aplikasi ini dapat digunakan sebagai pemikat dari karya seni itu sendiri. Seperti misalnya, jika kita mengaktifkan aplikasi tersebut kepada karya seni yang memiliki identtitas huruf “A”. Gambar tersebut akan bergerak-gerak dengan sedimikian rupa. Tidak hanya itu, pada beberapa karya seni, terkhusus gambar. Pada gambar yang dipajang, di bawahnya terdapat sebuah ipad yang menampilkan video cepat teknik-teknik untuk menggambar karya seni yang ada di atasnya.Tetapi para pengunjung yang notabene adalah para murid-murid dari sekolah Diponegoro, serta para orangtua murid. Sayangnya banyak pengunjung terutama anak SMA yang masih menggunakan ipad sebagai medium pameran karya digunakan untuk swafoto. Ini harus menjadi bahan evaluatif bagaiamana siswa-siswa memahami mengenai apresiasi karya.
Penulis : Nu’man Nafis Ridho, Mahasiswa FIS UNJ, Pegiat LKM UNJ.