Peserta remedial 2019 berkesempatan ngobrol bareng Jakarta 32°C salah satu kolektif di Gudskul (12/23). Ibrahim Soetomo yang akrab dipanggil Ibam menjadi pemantik diskusi seputaran Jakarta 32°C, dunia mahasiswa, kolektif seni dan cerita mahasiswa yang bergulat dengan ide sebelum karya ditampilkan di ruang publik. Bagaimana sebetulnya inisiatif-inisiatif mahasiswa dapat berkolaborasi dengan komunitas seni ?
Kita bisa menengok ulasan Indra Ameng dalam prolog katalog Jakarta 32°C 2010. Ameng memberikan gambaran yang lugas tentang simbiosis mutualisme antara komunitas atau organisasi seni yang berkoneksi dengan mahasiswa. Komunitas atau organisasi seni itu adalah, “Mereka yang muda, bersemangat, aktif dan memberikan referensi baru untuk kultur berkesenian kita.” Kolaborasi keduanya membentuk ekosistem ibarat “sekolah kecil” yang didalamnya ada dialog antar seniman dan mahasiswa. Hasil dari benturan antar gagasan itu muncullah produk artistik yang kritis dan kontekstual.
Persis seperti yang ditulis Ameng 9 tahun lalu remedial juga mencoba mendekatkan eksosistem Gudskul yang terdiri dari kolektif seni dengan dunia “siswa sekolahan”. Membuka Gudskul yang terdiri dari kolektif seni menjadi rumah wawasan, adu gagasan, berkesenian hingga pameran. Remedial hadir untuk membantu mengembangkan wawasan dan gagasan berkarya siswa.
Bagi “siswa sekolahan” intitusi sekolah belum membuka ruang yang luas bagi aktivitas seni siswa dalam berkarya. Pentas Seni (pensi) yang dekat dengan kegiatan musik di kalangan siswa sekolahan adalah jawaban yang sering muncul ketika ditanya mengenai kegiatan seni sekolah.
Peserta remedial 2019 adalah siswa dari pelbagai sekolah di Jakarta dan sekitarnya. Baik sekolah yang secara program dan kurikulum memang mengusung ‘seni rupa’ sebagai pelajaran utama, menghimpun siswa yang hobi atau berbakat di bidang seni rupa, ataupun sekolah yang hanya mengandalkan mata pelajaran seni dan ‘eskul’ sebagai roda ekspresi siswa berkesenian seperti sekolah negeri.
Ini juga yang menjadi kegelisahan di kalangan mahasiswa, ketika institusi kampus tak banyak memberikan ruang aktivitas seni muncullah Jakarta 32°C. Dengan pelbagai proyek seninya Jakarta 32°C menghimpun fragmen-fragmen jejaring seni di kalangan mahasiswa. Juga menjadi jalan melawan anggapan sinis mengenai mahasiswa dan anak muda yang lekat dengan kebengalan dan anarkis.
Ciri dari Jakarta 32°C dengan kerja kolektifnya menghasilkan karya yang bernilai kritis dan kontekstual. Ini berkaitan dengan cara kerja mereka berjejaring dan juga membuka ruang dialog, semisal sepanjang 2017-2018 mereka mengadakan Tarkam (tarung kampus), mengunjungi beberapa kampus dan berdialog dengan individu maupun komunitas mahasiswa. Serta mengadakan diskusi bernuansa “akademik” berdasarkan dari penelitian mahasiswa.
Fenomena berkarya dikalangan mahasiswa ini juga yang ditanyakan Elang dari SMK Sumbangsih Multimedia Jakarta, “Sebetulnya apa batasan sebuah karya itu?” Ibam menjawab, “eksperimen dan juga medium,” kata Ibam, “juga proses dalam penciptan menjadi poin tertentu,” lanjutnya.
Aktivitas dialog berupa diskusi itu juga yang diperlukan ketika “sinema kolekan” hadir di tengah mahasiswa. Sinema kolekan tak hanya menayangkan film dan video yang dihasilkan mahasiswa. Justru proses dialog dan diskusi itu yang dapat memantik lebih jauh gagasan dan menebar virus eksperimental dalam berkesenian. Terlebih Kampus-kampus yang terlibat dalam Jakarta 32°C dan sinema kolekan juga dari pelbagai kampus negeri dan swasta, menciptakan beragam gagasan.
“Mahasiswa saling beradu gagasan menciptakan dialog yang dapat menciptakan iklim yang baik dalam mengembangkan karya,” ungkap Ibam.
Kini menjamurnya warung-warung kopi bernuansa milenial dipelbagai ruang kota turut menyumbang kultur nongkrong siswa sekolahan. Dengan adanya warung kopi mereka dapat berkumpul dan berkoneksi dengan anak sekolahan lain. Kultur ngumpul ini jadi modal sosial membangun jejaring di kalangan siswa.
“Coffee Shop menjadi tempat siswa berkumpul dan ngobrolin apapun, termasuk ngomongin sosial-politik hari ini,” menurut Sami dari SMK Sumbangsih Multimedia Jakarta.