Andaikata tuan dan puan pernah mendengar seorang bernama Badrul Mustafa percayalah ia penuh dengan petuah-petuah di langgam puisi. Pun tuan dan puan akan percaya, asal-muasal pepatah yang tuan dan puan kenal barangkali akan berbeda dari mulut Badrul Mustafa. Tengoklah kitab puisi Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Nuansa Cendikia, 2017) gubahan Heru Joni Putra. Buku puisi ini ibarat memoar Badrul Mustafa. Pelbagai pepatah, sabda dan kisah balad-balad termaktub di kitab puisi 80 halaman berhias sketsa pelukis Hanafi. Puisi-puisi diberikan keterangan pernah mengadar di pelbagai koran-koran 10 tahun terakhir (2006-2016). Buku mustajab 10 besar buku puisi Kusala Sastra Khatutulistiwa 2017.
Kita acap menemui puisi-puisi bereferensi tokoh. Tokoh menjelma pemetik cerita dari dongeng, sejarah, mitos, agama, fabel menjadi gubahan naratif-puitik. Kita mengingat kumpulan sajak Don Quixote gubahan Goenawan Mohamad. Atau puisi bereferensi tokoh sejarah Indonesia Kematian Kecil Kartosoewirjo anggitan Triyanto Triwikromo. Keduanya bereferensi tokoh besar yang masuk ke dalam ensiklopedi ataupun buku pelajaran sejarah. Puisi bereferensi tokoh menawarkan peristiwa dalam bait-bait narasi berwujud puitik. Narasi berlanggam puisi ini terbilang mempunyai gema yang bernas. Puisi bereferensi tokoh menjadi petikan kisah bernuansa sastra mengenai sejarah, agama, politik, cinta, kekuasaan. Barangkali jalan naratif-puitik lebih mempunyai gema yang dapat menerangkan peristiwa besar maupun peristiwa keseharian ketimbang buku-buku sejarah babon bercap pemerintah.
Heru Joni tak bermaksud menjadikan Badrul Mustafa sebagai tokoh besar yang mesti masuk ke buku sejarah. Badrul Mustafa cukup diingat dan tercatat di kitab puisi. Meski sabda Badrul Mustafa serupa nabi yang mesti dikenang dan didengungkan di ingatan kitab suci. Di kuping buku Heru Joni menerangkan, Badrul Mustafa berkelana dari satu karakter ke lain karakter, melewati peristiwa demi peristiwa, dan tak selalu di zaman yang sama, mencari sesuatu yang mungkin entah atau sesuatu yang lain yang barangkali berantah. Kitab puisi ini menjadikan Badrul Mustafa musafir waktu dari peristiwa ke peristiwa lain.
Badrul Mustafa seperti hidup di seribu zaman. Meski hidup di seribu zaman Badrul Mustafa enggan mempunyai riuh massa pemuja tepuk tangan. Pernah suatu ketika Badrul Mustafa diharapkan serupa kuda. Syahdan Badrul Mustafa hanya ingin menjadi seekor rusa. Kalaupun Badrul Mustafa harus merunduk serupa babi, ia hanya ingin mendongak seperti sapi.
Puisi-puisi termaktub mempunyai penggambaran pepatah yang akrab di telinga. Heru Joni tak bermaksud berlagak dengan mengejek pepatah, peribahasa yang muncul dari mulut Badrul Mustafa. Pepatah ataupun peribahasa itu penting. Meskipun kita sadar peribahasa yang diwarisi dari masa kecil saat sekolah akan terbanding terbalik dengan apa yang ditulis Heru Joni melalui tokoh Badrul Mustafa. Simak penggalan puisi berjudul Ada Garam Ada Semut Heru Joni berkisah Badrul Mustafa mengenai pepatah ini. Badrul Mustafa menafsir, //Gula telah habis, kata Badrul, dan sepah semut//Dibuang ke laut: pepatah yang sempit ini.
Tengok puisi Gajah di Seberang Lautan dan Semut di Seberang Lautan. Badrul Mustafa berdialog dengan gajah dan semut. Sang gajah menggunjing sang semut yang tak nampak di kelopak mata Badrul Mustafa. Sang gajah melihat persis apa yang dilakukan sang semut. Gajah itu meyakinkan Badrul Mustafa, //aku melihatnya membawa sebutir gula,//Lalu menyeberang dari satu lautan//ke lautan lain. Gajah dan semut saling membenarkan diri masing-masing. Bagi sang semut yang dilihat gajah itu adalah bukannya melainkan gajah yang lain.
Narasi puisi berwajah pepatah juga muncul di puisi Udang di Depan Batu. Heru Joni kembali bermain pepatah melalui tokoh Badrul Mustafa mengenai udang yang tak lagi bersembunyi dibalik batu. Justru udanglah yang menyembunyikan batu. Badrul Mustafa berprasangka, //Entah batu apa//Yang disembunyikan udang//Di balik tubuhnya//Badrul Mustafa mengira//Mungkin itu cuma batu yang biasa//Diperbincangkan orang,//Batu yang cuma ada dalam pepatah//yang sempit itu.//. Prasangka pepatah sempit dimaknai sekaligus ditulis ulang melalui narasi puisi Badrul Mustafa.
Agama bagi Badrul Mustafa tak membuatnya lupa akan makna religiusitas. Tuan dan puan akan mengenali sosok Badrul Mustafa yang sufi. Di puisi Belajar Mengaji Ke Kandang Sapi, Badrul Mustafa mendayung religiusitas manusia yang retak. Badrul Mustafa tak bermaksud meragukan petuah Engku Haji sang guru ngaji. Hanya saja Badrul Mustafa tetap yakin setiap diri manusia bersemayam harimau. Badrul Mustafa tak ingin petuah-petuah janji surga dari lantunan ayat-ayat suci hanya membuat harimau di diri manusia mengaum. Badrul Mustafa berkisah, //Kami terus mengaji, menggali tak henti-henti,//Tapi yang kami temukan tetap harimau//Yang mengintai sapi dari dalam diri Engku Haji//Kami terus mengaji, menelusuri tak henti-henti,//tapi yang kami temukan masih harimau//yang selalu mengaum tak ingin kami dekati//. Menapaki jalan sapi merupakan pilihan orang-orang seperti Engku Haji yang sering disebutkan dalam kitab suci. Harimau menghantui Badrul Mustafa yang enggan mengaji. Ia malah memilih berlari dan bersabda.
Surga bagi Badrul Mustafa tak melulu diraih dengan tangga religiusitas orang-orang ramai. Badrul Mustafa meyakini tak ada tangga menuju surga. Untung seribu untung Haji Agus Salim dengan jenggotnya yang menjuntai dari surga menjadi pijakan Badrul Mustafa meraih surga. Pun Badrul Mustafa bukanlah orang yang parokial menikmati surga sendirian. Badrul Mustafa mengajak handai taulan, sanak saudara untuk menaiki jenggot Agus Salim menuju surga. “Masuk surga dahulu, ke Mekah kemudian,” begitu ajaran Badrul Mustafa. Tuan dan puan berhak memilih mengikuti jalan Badrul Mustafa ini ataupun hanya berdiam diri di ruang renung puisi.
Rianto
remedial.id